Kamis, 16 Mei 2013

Backpacker ke Jogja dan Jawa Tengah Bagian 4 (Keraton Ngayogyakata dan Alun-Alun Kidul)


Hari sudah siang saya memutuskan untuk mencari makan dulu, makan di sekitar alun-alun kidul ada yang jual sate plus lontong dengan kantong backpacker tentunya, satu pori hanya sepuluh ribu rupiah, cukup untuk memberi makan cacing-cacing saya yang ada di perut.

Setelah mengisi perut saya memutuskan untuk menuju ke Keraton yang jaraknya tidak begitu jauh dari Taman Sari dengan jalan kaki saya sampai di pintu masuk keraton, ketika saya masuk dan membeli tiket ada kejadian yang lucu, saya di pikirnya turis asing (maklum tampang gw kan mirip-mirip bule gimana gitu....keplak), ketika saya antri di bagian tiket wisatawan domestik saya di suruh menuju antrian untuk wisatawan asing, namun saya katakan bahwa saya adalah orang Indonesia dan si penjaga ticket akhirnya tertawa. Tiket masuk untuk wisatawan domestik adalah seharga 10 ribu Rupiah saja, tetapi bagi kawan-kawan yang membawa kamera baik kamera pocket maupun DSLR di kenakan biaya pengambilan gambar sebesar 5000 rupiah, tetapi kalau kita mengambil gambar dengan kamera hand phone maka GRATIS, heheheheh.

Keraton Jogja adalah salah satu keraton yang cukup ternama di Indonesia dan cuku terkenal di mancanegara, dan salah satu kerajaan yang masih berjalan sampai saat ini dan sebagai daerah istimewa maka Sultan sendiri merangkap sebagai gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Di keraton ini pula Sri Sultan Hamengkubuwono X masih tinggal meskipun pada tahun 1950 keraton Jogjakarta ini telah menyatakan bergabung menjadi bagian dari NKRI, namun selain sebagai tempat tinggal Sultan, keraton Jogja juga berfungsi sebagai cagar budaya dan juga museum sehingga tidak seperti kantor gubernur lain di provinsi lain yang tidak bisa sembarang orang masuk tetapi di keraton ini para wisatawan bisa masuk untuk menengok isi keraton.

Di dalam ini terdapat beberapa benda pusaka dan juga kenang-kenangan yang di terima Sultan dari raja-raja dan pemerintah-pemerintah negara asing. Di dlam keraton juga terdapat gamelan, dan keris-keris pusaka milik keraton.

Dari segi arsitektur bangunan, bangunan keraton menjadi salah satu arsitektur terbaik yang pernah ada sebagai rumah jawa asli karena memiliki balairiung-balairiung besar dan arsitektur yang mewah, serta memiliki halaman yang sangat luas.

Keraton Jogja mulai di dirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I beberapa bulan pasca perjanjian Gyanti yakni tahun 1755

Keraton Jogjakarta secara umum di bagi dalam tujuh kompleks bangunan keraton yakni :
1. Balairung utara atau dalam bahasa Jawa disebut Siti Hinggil Ler.
2. Kamanshungan utara atau dalam bahasa Jawa disebut Kamandhungan Ler.
3. Sri Manganti.
4. Kedhaton atau keraton inti.
5. Kamagangan.
6. Balairung selatan atau dalam bahasa Jawa di sebut sebagai Siti Hinggil Kidul.
7. Kamandhungan selatan atau dalam bahasa Jawa disebut sebaga Kamandhungan Kidul.

Dan sejak tahun 1995 Keraton Jogja di tetapkan sebagai situs warisan budaya oleh UNESCO.

Di katakan dalam sejarah pembangunan keraton yogyakarta kepala arsitek langsung dijabat oleh Sultan Hamengkubuono I. Menurut pengakuan ilmuwan asal Belanda, Theodoor Gautier, Thomas Pigeaud dan Lucien Adam, keahlian desain dan penataan ruang dalam istana tersebut sangat luar biasa. Mereka menyebut bangunan tersebut sebagai bangunan bersaudara dengan keraton Surakarta, dalam waktu satu tahun yakni antara tahun 1755 hingga 1756, bangunan inti dan tata ruang keraton serta lansekap kota tuaYogyakarta sudah berhasil diselesaikan. Sultan yang menjabat selanjutnya melakukan banyak renovasi dan penambahan bangunan di beberapa bagian.

Akan tetapi wujud istana yang ada saat ini adalah hasil pembangunan pada tahun 1921 hingga 1939 yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuono VIII yang langsung menjadi kepala arsitek. Bagian utama dari istana berjajar dari utara ke selatan. Bagian yang paling utara di sebut sebagai Gapura Gladhag yang merupakan jalan masuk dan terus berlajut ke Plengkung Nirboyo di bagian paling selatan. Bagian utama dari Keraton Yogyakarta juga berjajar dari utara ke selatan, mulai dari Gapura Gladhag Pangkurakab lanjut ke komplek alun-alun utara atau alun-alun ler. Masjid Gedhe atau Masjid Agung kerajaan. Komplek Pagelaran yang merupakan pusat acara keraton, komplek Siti Hinggil Ler menuju ke komplek Kamandungan. Dari komplek Kamandhungan bagian utara menuju selatan, yaitu Komplek Sri Manganti. Komplek Kedhaton, Komplek Kamanganan, dan komplek Kamandhungan Kidul. 

Ada satu tempat yang namanya berubah, yakni Sasana Hinggil. Tempat ini dulunya di sebut sebagai komplek Siti Hinggil kidul yang berlanjut ke arah selatan yang di akhiri di Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya. Namun ada satu bagian dari keraton yang sangat menyita perhatian adalah Kedhaton. Kedhaton utara dan selatan yang di katakan simetris karena bangunan tersebut sepenuhnya saling berpunggungan. Kedhaton Utara menghadap utara sepenuhnya, sedangkan Kedhaton Selatan menghadap selatan secara sepenuhnya. Hampir semua halaman keraton dilapisi oleh pasir yang di datangkan dari pantai selatan. Setiap komplek dibatasi dengan tembok tinggi dan gerbang atau regol yang berornamen khas Semar Tinandu. Setiap bangunan memiliki ciri khas, yakni terbuat dari kayu jati yang tebal. Pada tiap gerbang ada dinding penyekat yang di beri nama Renteng atau Baturono.
Pada bagian depan bangunan terdapat kontruksi Joglo. Hal ini adalah ciri khas bangunan Jawa, dimana ada dua tipe Joglo, yakni Joglo Bangsal, yakni joglo terbuka yang tidak dikelilingi dinding, hanya dengan tiang saja. Biasanya Joglo seperti ini banyak di temukan pada tempat-tempat pertemuan. Sementara tipe Joglo yang kedua adalah Joglo Gedong, yakni Joglo yang tertutup oleh dinding di bagian sisi-sisinya. Mayoritas bangunan di Keraton Jogja menggunakan dua tipe bangunan Jawa diatas. Sedangkan untuk bagian atap, ada dua macam jenis berdasarkan bahan yang digunakan. Yang pertama adalah bahan dasarnya bambu dengan atap juga dari bambu yang di sebut dengan tratag. Yang kedua adalah berbahan dasar seng dan bertiang dari besi. Permukaan atas joglo berbentuk trapesium yang ditutp dengan genteng yang terbuat dari tanah atau biasa disebut dengan sirap. Selain beratapkan sirap, ada pula yang beratap seng dengan warna seragam, yakni merah atau abu-abu.
Pada bagian tengah bangunan ada beberapa tiang pancang yang bernama soko guru. Tiang ini pada umumnya berwarna gelap yang di hias dengan ornamen berwarna cerah seperti kuning, hijau muda, emas, atau merah. Misalnya pada bangunan Manguntur Tangkil akan di temui ornamen kaligrafi yang bertuliskan Allah, Muhamad dan Aif Lam Mim Ra sebagai hiasan pada tiang soko guru. Di bagian bangunan tertentu diberikan sebuah batu persegi di bagian tengah. Batu ini disebut sebagai selo gilang, yang merupakan singgasana atau tempat duduk sultan ketika ada acara tertentu di bangunan tersebut. Pada setiap bangunan keraton Yogyakarta terdapat makna-makna dan nilai budaya yang ditunjukkan dengan ornamen yang membedakan kelas bangunan tersebut beserta kegunaannya.
Hal ini terlihat seperti  pada bangunan yang kelasnya tinggi, seperti miilik sultan atau permaisuri maka ornamen yang ada di sekeliling bangunan tersebut sangat rumit dan indah. Bangunan yang tidak memiliki nilai kepentingan dan penggunaannya juga tidak terlalu banyak, maka ornamennya akan sederhana. Bahkan di beberapa bangunan tidak memiliki ornamen apapun. Keindahan bangunan keraton juga dapat dinikmati dari bahan yang digunakan yang meliputi seluruh bagian keraton. Hal ini meyebabkan keraton Yogyakarta memiliki nilai budaya dan adat jawa yang paling kental diantara semua bangunan yang ada di pulau Jawa. Ini memang kelebihan keraton Yogyakarta di banding bangunan lainnya.

Demikian adalah penjelasan mengenai sejarah bangunan dan gaya arsitektur dari keraton Yogyakarta. Semoga bermanfaat bagi Anda, terutama yang ingin mengunjungi keratoon Yogyakarta ketika berlibur. Setidaknya dengan artikel ini Anda sudah mengetahui seluk beluk keraton seperti apa.


Salah seorang abdi dalam membaca karawitan jawa dan sastra-satra jawa kuno
Di keraton ini juga kita dapat mempelajari silsilah keraton, mulai dari Sri Sultan Hamengkubuono I sampai Sri Sultan Hamengkubuono X yang memerintah saat ini. Kita juga dapat melihat istri-istri dari para Sultan.


Istri-istri Sri Sultan Hamegkubuono I sampai dengan Sri Sultan Hamengkubuono X



  GKR Hemas 
Istri Sri Sultan Hamengkubuono X





Piagam penetapan bahwa Kraton Jogjakarta menjadi bagian dari NKRI yang di tanda tangani oleh presiden Soekarno


Setelah melihat isi keraton, saya melanjutkan perjalanan saya ke Alun-Alun Kidul tempat dimana ada sebuah mitos yang sangat terkenal yakni terdapat sepasang beringin kembar, berdasarkan mitos yang di percaya apabila kita dapat melewati pohon beringin itu dengan mata tertutup maka apa yang kita inginkan dapat terkabul (tetapi tetap ya jangan lupa berdoa sama Tuhan, jiah gw dah kaya pendeta (keplak...), saat yang lain mulai berjalan dengan mata tertutup kain hitam, saya masih menyaksikannya dari dekat. Mencoba menganilisa mengapa mereka tidak bisa menuju garis finish,jalan di antara dua beringin. Sebagian dari mereka ada yang melipir ke arah kanan, menerobos rerumputan yang jauh dari tujuan.

Saya mencoba menahan tawa melihatnya. Bayangkan saja, jarak sekitar 20 meter hanya perlu Anda lewati dengan mata tertutup sambil berjalan lurus. Ya, berjalan lurus, tak perlu belok ke kanan atau ke kiri. Tapi, kenapa sangat sulit?

Penasaran yang ada coba saya lepaskan dengan mencobanya langsung. Berbekal kain hitam yang kebetulan saya bawa sendiri, niat mencoba peruntungan di Alun-alun Kidul pun terwujud. 

"Huh!" tarikkan napas panjang saya keluarkan demi menghilangkan grogi. Saat itu pula doa keluar dari mulut saya, "Semoga saya beruntung."

Langkah pertama saya hentakkan ke tanah yang gembur. Disusul langkah kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Tak ada yang bisa saya lihat di sela-sela kain hitam. Saya hanya pasrah dan percaya kaki ini melangkah ke tempat yang tepat. Konsentrasi masih tertuju ke garis finish.

Satu menit berlalu, di tengah konsentrasi yang coba saya bangun, terdengar suara sambil menertawakan saya, "Mau ke mana, Mas?"

Memang, saya tidak tahu itu suara siapa dan untuk siapa suara itu ditujukan. Yang jelas, konsentrasi saya sudah hilang, percaya diri pun luntur terbawanya. Dengan penuh rasa penasaran, akhirnya kain hitam yang mengalangi pandangan pun saya buka, sambil berharap saya berada di tempat yang seharusnya: di anatara dua beringin.

Tapi, keberuntungan ternyata belum memihak. Saya malah berjalan jauh dari target. Berbelok ke kiri, menikung 90 derajat.

Ada banyak versi sejarah mengenai pohon beringin kembar tersebut. Pada zaman dulu, Sultan Hamengkubuwono I mempunyai putri yang cantik jelita. Banyak lelaki yang ingin melamarnya untuk dijadikan istri. Sultan pun memberi tantangan bagi siapa saja yang ingin melamar putrinya, harus melewati beringin kembar dengan mata tertutup.

Konon, banyak yang gagal dan tidak berhasil dalam melewati beringin kembar. Hingga akhirnya, anak Prabu Siliwangi dapat melewati beringin tersebut dan menjadi suami dari putri sultan. Menurut sultan, hanya orang yang berhati baik dan tulus yang dapat melewati beringin kembar dengan mata tertutup.

Selain itu, ada versi lain yang mengatakan, beringin kembar pernah dijadikan sebagai pertahanan gaib untuk mengecoh pasukan Belanda yang ingin menyerang keraton agar mereka kehilangan arah.

Penasaran? Anda juga bisa mencobanya. Kegiatan ini bisa dilakukan siang atau malam hari. Jangan khawatir jika Anda tidak membawa kain penutup mata, sebab di Alun-alun Kidul sudah disediakan. Anda hanya perlu menyewanya dengan harga Rp 3.000 saja. Selamat mencoba dan semoga berhasil
Konon jika anda datang ke alun-alun kidul pada malam hari anda akan merasakan aura yang berbeda tapi sayang saya datang ke mari ketika siang hari.

 Saya di depan sepasang beringin kembar alun-alun kidul

Setelah mencoba berjalan melewati pohon beringin, saya kemudian mendatangi satu tempat pembuatan batik  secara tradisional yakni dengan menggunakan canting, dan ketika saya baru menginjakan kaki di tempat pembuatan batik mata saya langsung tertuju kepada satu radio kuno yang masih terjaga suaranya dan masih bisa berfungsi secara normal.


Radio kuno yang masih berfungsi dengan baik.

Untuk anda yang mau membeli kaus khas Yogjakarta yakni Dagadu Djogja, Anda pun dapat mampir ke sana, karena jika Anda menggunakan becak dengan biaya 10 rebu rupiah, kita akan di ajak berkeliling dari keraton, alu-alun kidul, pabrik bakpia dan kita akan di bawa juga ke pabrik dagadu (cukup terjangkau bukan).

Kunjungan saya ke pabrik dagadu menutup perjalanan saya hari ini,dan saya kebali ke penginapan untuk beristirahat esok  harinya karena saya akan melakukan perjalanan ke Solo. Tunggu postingan saya berikutnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar